Beritakoperasi, Jakarta – Hari ini (Kamis, 17/11) Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) diterima Achmad Baidowi, sekretaris Fraksi PPP DPR RI dan Wartiah anggota Fraksi PPP DPR RI di lantai 15 Gedung Nusantara 1. Andy A Djunaid, Ketua Umum Presidium Forkopi bersama 15 perwakilan koperasi Indonesia menyampaikan pendapat tentang Rancangan Undang-Undang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan ( RUU PPSK).
Baca : Forkopi Tolak RUU PPSK
Stephanus S.T GM Inkopdit, Gerakan Koperasi Kredit Bersama Elemen Forkopi Lainnya Diterima Fraksi PPP DPR RI
Baca : Gerakan Koperasi Syariah Tolak RUU PPSK
Andy A Djunaid di depan fraksi PPP menyampaikan kegelisahan koperasi atas RUU PPSK. Andy yang juga Ketua Kospin Jasa Pekalongan ini menyampaikan kekhawatiran jika RUU PPSK terutama pasal 191, 192 dan 298 diberlakukan. Pengawasan koperasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpotensi untuk menghilangkan jati diri koperasi.
"Sampai saat ini ada 2300 koperasi yang tergabung di Forkopi dengan anggota lebih dari 30 juta orang. Mereka bergerak masif karena khawatir koperasi akan kehilangan jati dirinya" ujar Andy.
Andy mengatakan koperasi lahir dari gerakan moral dengan asas kekeluargaan dan kegotong-royongan. Andy khawatir OJK yang selama ini menerapkan manajemen risiko di lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan berbasis modal akan mengeliminasi pertimbangan-pertimbangan benefit bagi anggota koperasi.
Lebih lanjut Andy mengatakan pengawasan OJK bukan solusi karena sampai saat ini banyak lembaga yang diawasi oleh OJK juga menimbulkan masalah besar bagi nasabahnya.
"Jika saat ini ada 9 koperasi bermasalah maka sebetulnya yang barus dikuatkan adalah Kemenkop yang memang memiliki kewenangan untuk mengawasi koperasi. Kita juga elemen koperasi bisa duduk bersama untuk membentuk pengawasan yang efektif di koperasi tanpa menghilangkan jati diri koperasi" ujarnya lagi.
Ia katakan telah 75 tahun koperasi menjadi milik masyarakat Indonesia, koperasi saat ini tetap menjadi milik rakyat sedangkan perbankan saat ini hampir 97% justru dimiliki oleh asing sementara koperasi tetap akan menjadi milik rakyat kebanyakan.
"Dua model yang saya sampaikan tadi tentu pola pengawasannya harus berbeda. Jika kita masih mencintai kultur bangsa ini maka kita minta pasal yang mengatur koperasi dikeluarkan dari RUU PPSK sedangkan koperasi tetap diatur pada RUU Perkoperasian yang saat ini sedang dalam pembahasan" pungkasnya.
Stephanus, perwakilan dari koperasi kredit kembali menegaskan bahwa koperasi adalah kumpulan orang dan baru kumpulan uang. Bergesernya pengawasan koperasi pada OJK tentu menggeser manajemen risiko yang mempertimbangkan nilai – nilai koperasi menjadi bergeser dengan menempatkan uang di atas segalanya.
Lebih lanjut ia katakan prinsip-prinsip koperasi akan menghilang seiring dengan pemberlakuan manajemen risiko yang semata-mata berbasis uang.
"Kita saat ini memberikan relaksasi namun relaksasi kita berbeda dengan perbankan. Relaksasi kita menghentikan bunga dan memberikan waktu kepada anggota yang sedang bermasalah dalam pinjamannya. Apakah hal seperti ini dimungkinkan di perbankan?" ujar Stephanus setengah bertanya.
Gerakan koperasi kredit yang saat ini beranggotakan 3,5 juta orang dipastikan menolak RUU PPSK atau Omnibus Law Sektor Keuangan ini. Ia menegaskan dalam menjalankan tata kelola koperasi yang baik memang harus ada pengawasan. "Pengawasan menjadi syarat mutlak bagi tata kelola koperasi yang baik namun pengawasan koperasi bersifat self-regulated dalam hal ini pengawasan bisa dilakukan oleh unsur koperasi dan pemerintah yang mengerti bahwa manajemen koperasi bukan hanya untung rugi tetapi berbasis saling dukung dan saling percaya" papar Stephanus melanjutkan.
Mengakhiri pernyataannya Stephanus mengungkapkan bahwa manajemen risiko di koperasi manajemen risiko ekonomi kerakyatan. (Diah S/Beritakoperasi)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.