Beritakoperasi, Jakarta – Di tengah maraknya bahasan RUU PPSK atau Omnibus Law Sektor Keuangan yang mengatakan ada kekosongan hukum dalam pengawasan koperasi. Teguh Boediyana, Direktur Eksekutif Ibnu Sudjono Center yang pada waktu era Menkopukm, Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga menjadi staf khusus turut berpendapat. Melalui artikelnya di Harian Neraca yang terbit Rabu,16/11 ia membantah bahwa Kemenkopukm tidak cukup punya kewenangan untuk mengawasi koperasi di Indonesia. 

Baca : Gema Penolakan RUU PPSK Oleh Forum Koperasi Indonesia

Ia jelaskan pada bagian pertama artikelnya, ”Pada tanggal 10 November 2022 yang lalu telah dilaksanakan Rapat Kerja antara Komisi XI DPR RI dengan  Pemerintah untuk  mulai membahas  RUU PPSK ( Rancangan Undang Undang  Pengembangan  dan Penguatan Sektor Keuangan). Hadlir dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI tersebut Menteri Keuangan Dr.  Sri Mulyani dan Menteri Koperasi dan UKM Drs. Teten Masduki mewakili  Pemerintah.   Meskipun mendapat banyak tentangan dari para pegiat Koperasi,  tampaknya Pemerintah dan DPR RI sangat serius untuk segera  mensahkan  RUU PPSK ini  dan secara khusus  Panitia Kerja ( Panja ) DPR-RI akan   membahas lebih lanjut” tulisnya di paragraf pertama di Harian Neraca.

Baca : Kata Suroto,Catat Secara Epistimologis Dan Kerdilkan Koperasi

Ada hal yang menarik dalam Rapat Kerja  Komisi XI DPR RI dengan Pemerintah tersebut . Terutama  pernyataan  Menteri Koperasi dan UKM  Drs. Teten Masduki yang  secara khusus menyampaikan tentang kasus beberapa Koperasi Simpan Pinjam ( KSP )  yang dalam penyelesaiannya dibawa ke proses PKPU.  Menteri Koperasi dan UKM   menyatakan dan menegaskan bahwa kasus  terkait dengan KSP tersebut adalah sebagai akibat bahwa UU 25 tahun 1992 tidak mengatur pengawasan oleh Kementerian Koperasi dan UKM yang berakibat Kementerian Koperasi dan UKM sulit menyelesaikan kasus yang ada.

Baca : Teten Ungkap Alasan Koperasi Ke OJK

Pernyataan ini  menimbulkan dugaan bahwa Menteri Koperasi  dan UKM tampaknya  tidak atau belum mempelajari secara mendalam berbagai peraturan perundangan  terkait  dengan kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.  Perlu kita kupas sejenak.  Tentang  usaha simpan pinjam  oleh koperasi  dilandasi berbagai peraturan perundangan. Mulai dari pasal 44 Undang  Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan didukung  berbagai peraturan turunannya yaitu antara lain:   Peraturan Pemerintah  No. 9 tahun 1995 tentang  Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, Peraturan Menteri Koperasi dan  UKM No. 15 tahun 2015 tentang Usaha Simpan Pinjam Koperasi yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM  Nomor  02 tahun 2017 tentang  Perubahan atas Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 15 tahun 2015, Pertaturan Menteri Koperasi  dan UKM  No. 9 tahun  2020 tentang Pengawasan Koperasi. 

Baca : Teten Usulkan Kompartemen Koperasi Di OJK

Adakah ketentuan terkait dengan pengawasan oleh Pemerintah atas usaha simpan  pinjam oleh Koperasi ?  Kita mulai dari Pasal 44 Undang Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.  Dalam Pasal 44 tersebut tersurat secara jelas bahwa  pelaksanaan  kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi  diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.  Untuk itu diterbitkan Peraturan Pemerintah  Nomor 9 tahun 1995 tentang  Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam Koperasi.  Hal yang terkait dengan pengawasan oleh Pemerintah, tersebut dalam pasal  24  PP No. 9 tahun 1995 : “ Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam  dilakukan oleh Menteri “.   Berikutnya dalam pasal  26  PP No. 9 tahun 1995:  “ Koperasi Simpan Pinjam  wajib menyampaikan laporan berkala dan tahunan kepada Menteri. Selain itu Neraca dan  Perhitungan Rugi Laba   Tahunan KSP wajib diaudit  oleh Akuntan Publik dan diumumkan “.  Sedangkan  dalam pasal 27 disebutkan: “ Menteri dapat melakukan pemeriksaan terhadap KSP baik berkala maupun setiap waktu yang diperlukan “ .

Baca juga:  Komnas HAM Trending Usai Hakim Membacakan Vonis Ferdy Sambo

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 15 tahun 2015 tentang Usaha Simpan Pinjam, butir c dari konsideran  disebutkan :   “ sebagai lembaga keuangan , usaha simpan pinjam oleh koperasi melaksanakan   intermediasi yang memiliki ciri , bentuk dan system tersendiri, wajib diatur, diawasi, dan dinilai kinerjanya “. Dalam pasal 21 butir 3 tersurat:  “ Pengurus dan Pengelola wajib memberikan kesempatan  dan memberikan  bantuan kepada pejabat yang berwenang untuk memeriksa buku, dokumen dan berkas berkas yang ada padanya dalam  rangka  memperoleh kebenaran  dan segala keterangan serta penjelasan yang  dilaporkan  oleh KSP atau USP Koperasi “.  Pasal 29 ayat 2 menyebutkan : “ KSP dan Koperasi yang memiliki USP wajib menyampaikan laporan  keuangan secara berkala kepada pejabat yang memberikan ijin usaha simpan pinjam pada setiap triwulan dan tahunan “.  Seperti kita ketahui sesuai dalam ketentuan Undang Undang, yang berhak memberikan ijin usaha  Simpan Pinjam adalah Menteri Koperasi dan UKM. Jadi Koperasi Simpan Pinjam beroperasi setelah mendapatkan ijin dari Menteri Koperasi dan UKM.

Dari butir butir peraturan  perundangan tersebut diatas sudah sangat jelas bahwa  Undang Undang 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian memiliki perangkat  yang cukup  terkait dengan fungsi pengawasan  oleh Pemerintah   (dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM)   terhadap Koperasi Simpan Pinjam dan usaha simpan pinjam. Maka dari itu  sangat aneh kalau Menteri Koperasi dan UK dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI mengatakan bahwa UU No. 25 tahun 1992  tidak  mengatur pengawasan usaha simpan pinjam  oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Pernyataan Menteri Koperasi dan UKM ini senada yang pernah dikatakan oleh Deputi Kelembagaan Koperasi Zabadi SH ,MM  bahwa terdapat kekosongan hukum dalam hal pengawasan usaha simpan pinjam  dalam UU no. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Apakah Peraturan Pemerintah  No. 9 tahun 1995 dan berbagai  peraturan perundangan turunannya  dianggap tidak mengikat dan memiliki kekuatan hukum?  Dalam Undang Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan  Peraturan Perundangan  sangat jelas bahwa Peraturan Pemerintah  adalah Peraturan Perundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan  Undang Undang sebagaimana mestinya. Selain memuat norma norma hukum juga  memiliki kekuatan hukum. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah peraturan perundangan terkait dengan pengawasan  pada usaha pinjam oleh koperasi tersebut telah dilaksanakan sebagaimana mestinya ? Paling tidak apabila mekanisme pengawasan dilakukan sebagaimana dalam peraturan perundangan, kasus KSP yang ada saat ini ataupun kasus kasus penyimpangan lainnya sudah dapat lebih dini  diditeksi dan dicegah.

Baca juga:  SesKemenKopUKM: Pendataan Lengkap Koperasi dan UMKM 2024 untuk Kebijakan yang Lebih Efektif

Keberadaan  Deputi Pengawasan sejak tahun 2015 dalam stuktur  organisasi Kementerian Koperasi dan UKM sesungguhnya  adalah indikasi bahwa pengawasan koperasi  merupakan bagian wewenang dan tupoksi  yang melekat  di  Kementerian Koperasi dan UKM.  Sebelum terbentuknya Deputi Pengawasan fungsi pengawasan usaha simpan pinjam  menjadi tanggung jawab Deputi Kelembagaan .

 

Pasal 44 UU No. 25/1992

Sesungguhnya apabila dicermati pasal 44 UU No. 25 tahun 1992 adalah suatu blessing bagi koperasi yang melakukan usaha simpan pinjam.   Dalam pasal tersebut dan peraturan perundangan turunannya koperasi yang bergerak di usaha simpan pinjam memiliki berbagai peluang  yang sangat besar untuk  membawa koperasi semakin eksis dan memberi kemanfaatan bagi anggota serta masyarakat.  Dalam pasal 44 Undang Undang  no. 25 tahun 1992 tersebut  tersurat  bahwa koperasi  antara lain dapat  menghimpun dana dari anggota dan atau koperasi lain dan atau anggotanya untuk memperkuat permodalan melalui simpanan berjangka.  Menurut Almarhum  Drs. Sularso, sesungguhnya ketentuan menghimpun dana masyarakat adalah bagian otoritas Departemen Keuangan . Beruntung dapat diperoleh dan masuk di Undang Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Memang sangat disayangkan bahwa  pasal tersebut banyak disalahgunakan dan  dimanfaatkan oleh sementara KSP   untuk berpraktek sebagai  shadow banking ( istilah yang digunakan Menteri Koperasi dan UKM  Drs. Teten Masduki ). Juga praktik rentenir berbaju koperasi .  Adanya kasus koperasi  yang gagal bayar  kepada para nasabah adalah Koperasi Simpan Pinjam yang secara lihay  memanfaatkan celah  yang ada  dan menawarkan  simpanan berjangka  kepada masyarakat dengan iming iming bunga yang menggiurkan dibandingkan apabila menyimpan di bank. Banyak anggota masyarakat yang dipikat menjadi deposan.  Selanjutnya dana yang terkumpul digunakan bukan untuk kegiatan usaha   simpan pinjam tetapi untuk berbagai bisnis lain seperti property dan lain sebagainya.  

Sedangkan  penyimpangan lain adalah Koperasi Simpan Pinjam yang memanfaatkan anggota masyarakat sebagai  “ pasar “ uang mereka dengan tingkat bunga yang tinggi. Anggota Koperasi tersebut umumnya terbatas  dan sebagai pemilik modal, serta memperlakukan  para nasabahnya hanya calon anggota yang permanen dan  tanpa batas waktu.  Dalam  posisi sebagai “ calon anggota “ maka para nasabah yang adalah pasar bagi koperasi  ini tidak dapat memperoleh hak haknya sebagai anggota dan ikut menentukan jalannya koperasi. Repotnya adalah bahwa dalam kenyataan rentenir berbaju koperasi memiliki segmen pasar yang cukup besar dan tampaknya sangat dibutuhkan oleh masyarakat.  Dalam salah satu pasal UU No. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian yang atas desakan sebagian pegiat koperasi lewat uji materi ( judicial review ) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tersurat secara jelas dalam salah satu pasalnya bahwa tiga bulan sejak diundangkannya  Undang Undang Undang No. 17 tahun 2012 seluruh calon anggota  Koperasi Simpan Pinjam harus ditetapkan sebagai anggota. 

Baca juga:  SAMBUT RAMADAN PENUH BERKAH TANPA TAKUT DOMPET TERKURAS

Menjadi pertanyaan  apakah isi  pasal 44 tersebut akan muncul kembali  dalam RUU Perkoperasian  yang saat ini sedang disusun dan dibahas?     Rasanya peluang emas koperasi dalam usaha simpan pinjam  seperti yang tersurat dalam pasal 44 UU No. 25 tahun  1992 tidak akan  muncul kembali khususnya dalam hal dapat menghimpun dana permodalan seperti yang banyak dilakukan oleh sementara KSP saat ini.    Dalam kondisi seperti itu, sesungguhnya   tidak diperlukan lagi  rencana  pengawasan terhadap koperasi yang melakukan usaha simpan pinjam  oleh Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) seperti yang tertuang dalam  dalam RUU PPSK. 

 

Koperasi Simpan Pinjam yang Taat Asas
Saat ini masih terdapat ribuan koperasi yang melakukan kegiatan  usaha simpan pinjam yang beroperasi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Mereka  juga masih dengan teguh memegang dan mengamalkan nilai dan prinsip koperasi. Keberadaan mereka benar benar telah memberi manfaat serta merupakan solusi ketika Pemerintah belum mampu menyediakan  lembaga keuangan  yang mudah diakses oleh masyarakat kecil khususnya untuk mendapatkan  kebutuhan modal ataupun untuk kebutuhan ekonomi lain.  Adalah masuk di akal kalau  saat ini banyak reaksi penolakan atas RUU PPKS khususnya  rencana adanya pengawasan oleh OJK pada usaha simpan pinjam yang dilakukan oleh koperasi.   

Sebaiknya Pemerintah lebih mendorong swadaya masyarakat koperasi untuk lebih banyak mengatur dirinya sendiri. Seperti yang tersurat dalam  konsideran  Undang Undang No. 25 tahun 1992 yang intinya koperasi perlu untuk membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri  berdasar  prinsip prinsip koperasi.  Rasanya sangat naïf kalau kasus penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa Koperasi Simpan Pinjam dan belum efektifnya pengawasan oleh Pemerintah mendorong pemikiran untuk melakukan intervensi dalam kehidupan internal koperasi yang bergerak dalam usaha simpan pinjam.  

Menutup artikelnya ia memberikan konklusi bahwa pemerintah wajib membangun koperasi tanpa melakukan intervensi dalam internal organisasi koperasi. Akan lebih tepat apabila Pemerintah menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya  koperasi  termasuk koperasi yang bergerak di usaha simpan pinjam atau di sektor keuangan untuk mengimbangi proses liberalisasi perekonomian yang ada saat ini.

Melalui pikiran yang jernih memang pemerintah sudah selayaknya menimbang banyak hal sebelum memutuskan apakah koperasi akan diawasi oleh OJK atau lebih baik memperkuat pengawasan koperasi melalui Kemenkopukm. Dengan gerakan penolakan di mana-mana harusnya DPR dan pemerintah lebih bijak untuk mengambil keputusan. Agar koperasi benar-benar tumbuh dari akar kerakyatan dan tetap menjadi lembaga keuangan milik anggota. (Diah S/Beritakoperasi).