Beritakoperasi, Jakarta – Pencabutan subsidi BBM beberapa hari terakhir membuat resah masyarakat, bukan hanya kalangan masyarakat yang risau tetapi juga kalangan pengamat ekonomi dan koperasi. Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES) menyampaikan beberapa pandangan terkait naiknya BBM ini.

Ia mengatakan subsidi merupakan instrumen kebijakan subsidi selalu menjadi isu sensitif.  Selain berkaitan dengan soal kemampuan fiskal pemerintah juga terkait langsung dengan harga. Sesuatu yang langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Termasuk soal subsidi energi.

Pemerintah telah mengurangi subsidi untuk BBM dan Energi sehingga harga harga mulai merangkak naik. Padahal masyarakat sebelumnya sedang menghadapi masalah dengan harga harga pangan yang tidak stabil seperti minyak goreng, kedelai, lalu akhir akhir ini soal telur. Selain harus hadapi masa sulit dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi secara keseluruhan.  

Begitu subsidi dicabut tentu akan memicu inflasi, dan tidak hanya akan menggerus daya beli masyarakat, namun akan mencekik hidup rakyat kecil yang sudah dalam posisi sulit ekonominya. Masyarakat sebetulnya tidak ingin negara memboroskan anggarannya untuk subsidi. Apalagi jika subsidi itu tidak tepat sasaran, membuat bias harga dan juga jadi beban fiskal secara keseluruhan. Tapi di negara yang gagal kelola harga dan struktur pasar,  satu satunya yang dapat diandalkan adalah mengintervensinya melalui kebijakan subsidi ke masyarakat terutama masyarakat lapis bawah. Kebijakan fiskal ini penting untuk memihak kepada kepentingan orang banyak.

Baca juga:  Dicecar Soal Keterlibatan Kasus Judi Online, Eks Menkominfo Budi Arie Mengaku Siap Diperiksa

Argumentasi seorang ekonom yang mengatakan bahwa  menaikan harga BBM dan energi adalah mengikuti trend global sebagai alasan itu juga tidak berdasar. Indonesia ini struktur pasarnya dan juga daya beli masyarakatnya tidak sama dengan negara negara yang diperbandingkan. Negara di Timor Tengah yang diperbandingkan misalnya, mereka itu masyarakatnya dapat alokasi pendapatan dari negara yang cukup untuk hidupnya. Mereka juga  tidak dibebani pajak.  Sedangkan kondisi masyarakat kita di lapisan bawah itu hidupnya sudah kembang kempis akibat pandemi, dan juga tekanan mafia kartel pangan. Jauh sekali kondisinya jika diperbandingkan.

Jika dibandingkan dengan negara negara Eropa juga tidak fair, selain tingkat daya belinya memang mereka sudah bagus,  struktur pasarnya tidak dikuasai secara oligopolistik dan monopolistik seperti Indonesia. Masyarakat kecil di bawah kita itu harus hidup penuh persaingan berdarah darah dengan tetangganya untuk sekedar bertahan hidup. Sementara kue ekonomi nasional kita dikuasai secara kongkalikong sebagian besarnya antara pebisnis kelas konglomerat dengan para elit politik.

Pengusaha kita itu 99,6 persen atau 64 juta adalah pengusaha kelas gurem yang motivasi mengembangkan usahanya itu sekedar untuk selamatkan hidup karena negara tidak berhasil ciptakan lapangan kerja yang layak. Ini tidak bisa diabaikan, rakyat yang sulit hidupnya butuh keberpihakan pemerintah sebagai pemegang kebijakan fiskal. Subsidi energi diganti dengan kompensasi, atau bantuan sosial atau bantalan ekonomi  atau apapun itu istilahnya,  sumber uangnya adalah juga dari uang pajak rakyat atau utang negara yang juga utang rakyat. Jadi adalah sama dengan bentuk kejahatan struktural kalau digunakan prioritasnya itu untuk selamatkan proyek seperti IKN, Kereta Cepat dan lain lain yang tidak ada kaitanya dengan nasib hidup matinya rakyat hari ini.

Baca juga:  ICEFF 2024: Kadisparbud Jabar Dorong Sinergi Ekonomi Kreatif Syariah

Ia juga menekankan bahwa subsidi itu instrumen penting yang diperlukan masyarakat untuk mengoreksi kegagalan pasar dalam mengelola harga. Kalau inipun dihilangkan maka sebetulnya negara sudah melalaikan tugas konstitusionalnya. (Diah/Beritakoperasi)