Jakarta, Beritakoperasi – Sektor keuangan mikro dan perkoperasian diwarnai tantangan dengan munculnya keberagaman model bisnis seperti village bank, tanggung renteng, BMT, credit union, hingga unit usaha simpan pinjam.
Yang menjadi perhatian, keberagaman ini tidak diimbangi dengan pendekatan yang adaptif. Padahal, pengawasan koperasi keuangan tidak sekadar menjadi instrumen stabilitas sektor, melainkan juga pilar keberlanjutan koperasi.
Selain itu, efektivitas pengawasan sangat bergantung pada pemahaman mendalam tentang beragam model bisnis keuangan yang menjadi objek pengawasan.
Sebab, tanpa pengetahuan yang komprehensif tentang karakteristik unik dan dinamika operasional dari berbagai model bisnis koperasi keuangan, maka upaya pengawasan tidak akan tepat sasaran serta kurang efektif dalam mengidentifikasi dan memitigasi risiko.
Asosiasi koperasi, sebagai second layer dalam ekosistem ini, memiliki posisi penting. Mereka berperan sebagai jembatan antara regulator dan koperasi anggota.
Namun, absennya keterlibatan asosiasi dapat menciptakan jurang antara regulasi yang dirancang di atas meja dengan realitas lapangan yang dinamis.
Ragam Model Bisnis
Setiap model bisnis koperasi keuangan memiliki keunikan tersendiri. Misalnya, Model Bisnis Village Bank (Bank Desa), sumber permodalannya berasal dari simpanan anggota sebagai sumber utama permodalan. Selain itu, dukungan modal awal dari lembaga donor atau pemerintah juga sering diberikan untuk memulai operasional (Seibel, 2005).
Kemudian, terdapat Model Bisnis Tanggung Renteng yang merupakan sistem pembiayaan kelompok di mana anggota kelompok bersama-sama bertanggung jawab atas kewajiban pembayaran pinjaman. Model ini banyak diterapkan oleh koperasi simpan pinjam di Indonesia.
Lalu, Model Bisnis Baitul Maal wat Tamwil atau BMT merupakan lembaga keuangan mikro syariah yang menggabungkan fungsi sosial (baitul maal) dan fungsi bisnis (baitul tamwil). Model ini banyak berkembang di Indonesia sebagai alternatif keuangan mikro berbasis syariah.
Ada juga, Model Bisnis Kemitraan yang melibatkan kerja sama antara lembaga keuangan mikro dengan pihak lain, seperti perusahaan besar, pemerintah, atau lembaga donor, dalam penyaluran pembiayaan mikro dengan sasaran penyaluran misalnya para petani plasma dalam skema inti-plasma, atau UMKM dalam rantai pasok perusahaan besar (Anas et al., 2024).
Model Bisnis Credit Union (CU) juga merupakan model yang kerap digunakan dengan menekankan pada prinsip swadaya dan demokratisasi keuangan.
Tak ketinggalan, Model Bisnis Pembiayaan Kelompok juga melibatkan penyaluran dana kepada kelompok-kelompok kecil yang anggotanya saling menjamin. Sejatinya, model ini populer dalam skema keuangan mikro untuk menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Tak hanya itu, Model Bisnis Unit Usaha Simpan Pinjam juga merupakan unit usaha dalam koperasi yang bergerak di bidang simpan pinjam. Model ini mendominasi sektor koperasi di tanah air.
Implikasi Pengawasan
Berdasarkan analisis terhadap tujuh model bisnis tersebut, setidaknya terdapat beberapa implikasi penting dalam membangun sistem pengawasan koperasi keuangan.
Yang pertama, Fleksibilitas dan Proporsionalitas, sistem pengawasan ini perlu memiliki fleksibilitas untuk mengakomodasi keragaman model bisnis dengan pendekatan one-size-fits-all tidak akan efektif mengingat setiap model memiliki karakteristik unik. Misalnya, pengawasan terhadap BMT perlu mempertimbangkan aspek kepatuhan syariah, sementara pengawasan terhadap credit union perlu fokus pada kecukupan simpanan anggota sebagai sumber utama modal.
Kedua, Penguatan Tata Kelola dan Sistem Pengendalian Internal, kedua hal ini menjadi aspek krusial dalam pengawasan. Pasalnya, regulator perlu mendorong penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi anggota, pada semua model bisnis koperasi keuangan.
Ketiga, Pengawasan Berbasis Risiko, perlu diterapkan untuk mengoptimalkan sumber daya pengawasan. Sebab, regulator dalam hal ini perlu mengidentifikasi dan memahami profil risiko dari masing-masing model bisnis, serta menyusun metodologi penilaian risiko yang sesuai.
Membangun sistem pengawasan koperasi keuangan bukan sekadar merancang kerangka regulasi. Pengawasan perlu dilakukan melalui pendekatan holistik yang melibatkan teknologi, tata kelola, dan sumber daya manusia.
Kolaborasi antara regulator, asosiasi koperasi, dan pelaku koperasi juga mutlak diperlukan untuk menjamin relevansi dan efektivitas implementasi.
Dengan demikian, sistem pengawasan yang komprehensif tidak hanya menjadi penopang stabilitas, tetapi juga katalisator pertumbuhan koperasi yang sehat dan berkelanjutan di tengah dinamika sektor keuangan mikro. (IT/Beritakoperasi)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.