Jakarta, Beritakoperasi – Setelah lebih dari satu dekade tanpa regulasi baru, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mulai garap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian.
Nyaris 11 tahun silam Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Setelah beleid itu rontok di tangan mahkamah melalui putusan No.28/PUU-XI/2013 yang dibacakan Mei 2014, sampai saat ini belum ada UU Perkoperasian baru. Justru yang digunakan saat ini UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Pembahasan RUU Perkoperasi ini baru muncul sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi koperasi, terutama koperasi simpan pinjam yang kerap tersandung permasalahan keuangan.
Selain itu terdapat urgensi dalam menjalankan program pemerintah seperti penyaluran pupuk subsidi dan peluang koperasi mengelola sektor tambang setelah disahkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menyampaikan bahwa pihaknya tengah menyusun revisi atas UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Kemudian, dalam rangka menyerap aspirasi, Baleg mengundang berbagai pemangku kepentingan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), termasuk Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Universitas Koperasi Indonesia (Ikopin), dan Forum Koperasi Indonesia (Forkopi).
“Baleg DPR mengundang narasumber dalam RDP untuk mendapat masukan dan pandangan terhadap RUU Perkoperasian,” kata Bob dalam RDPU, Selasa (18/2/2025).
Ketua Umum Dekopin, Bambang Haryadi, dalam kesempatan pertama memaparkan materi mengajukan delapan poin usulan dalam revisi ini. Pertama, merumuskan kembali definisi asas kekeluargaan sebagai salah satu prinsip koperasi. Asas itu mencerminkan kepemilikan bersama atau hajat hidup orang banyak.
“Definisi asas kekeluargaan dan gotong royong harus dijabarkan secara detail,” usul Sekretaris Fraksi Gerindra DPR RI itu.
Kedua, membentuk lembaga penjamin simpanan. Menurut Bambang lembaga ini perlu dibentuk untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat menjadi anggota koperasi dan tidak khawatir kehilangan dana simpanan.
Ketiga, wadah tunggal gerakan koperasi, untuk memudahkan dalam rangka melakukan pembinaan dan penindakan koperasi yang melanggar aturan.
Keempat, perlindungan usaha koperasi oleh pemerintah. Kelima, membentuk otoritas pengawasan lembaga simpan pinjam. Keenam, memberi kewenangan kepada koperasi sektor keuangan dan riil untuk mengelola pinjaman yang difasilitasi pemerintah.
Ketujuh, RUU jangan terlalu fokus pada usaha simpan pinjam, tapi juga memberi ruang untuk usaha sektor lainnya. Kedelapan, pengaturan internal koperasi misalnya mekanisme rapat anggota tahunan (RAT) dan penyelenggaraan secara umum.
Rektor Ikopin University, Prof. Agus Pakpahan, menilai bahwa RUU Perkoperasian harus mengadopsi prinsip ‘broadening ownership’ sebagaimana diterapkan di negara maju.
Menurutnya, koperasi harus mampu mengelola aset berwujud seperti tanah dan hasil panen petani, sehingga dapat berfungsi sebagai institusi ekonomi yang mandiri.
Ia juga menyoroti perlunya regulasi yang mendukung aspek keuangan dan akuntansi koperasi agar mampu menarik modal dari lembaga eksternal.
“Perlu dukungan regulasi di bidang keuangan dan akuntansi koperasi yang memadai untuk keperluan mencapai tujuan tersebut,” papar Prof Agus.
Selain faktor keuangan, peningkatan kapasitas anggota melalui jejaring dan pelatihan perlu dikembangkan sebagai aspek ‘broadening ownership non-monetary’ yang penting dalam proses pemberdayaan koperasi mendatang.
Adapun prinsip-prinsip koperasi seperti sukarela, solidaritas, kekeluargaan, dan demokrasi harus tetap dijaga. Koperasi juga perlu memberdayakan diri dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki sebagai modal kuat untuk berkontrak dan bertransaksi dalam usahanya.
Ketua Umum Forkopi, Andy Arslan Djunaid, menambahkan organisasi pimpinannya mengusulkan beberapa isu krusial RUU Perkoperasi.
Salah satunya, pembentukan lembaga pengawas dan lembaga penjamin simpanan untuk koperasi simpan pinjam. Hal ini untuk mencegah kesalahan dalam mengelola dana simpanan anggota.
“Ini usul kami lembaga penjamin simpanan untuk koperasi simpan pinjam harus dibentuk,” tegasnya.
Selanjutnya bahwa koperasi perlu diberi keleluasaan dalam mengembangkan teknologi informasi. Saat ini, tidak adanya regulasi yang jelas sering kali membuat koperasi mengalami kendala hukum dalam pemanfaatan sistem digital.
Lebih lanjut, Forkopi mengajukan usulan agar insentif pajak diberikan kepada koperasi, termasuk pembebasan pajak terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU) anggota dan simpanan anggota.
Selain itu, pelayanan koperasi syariah untuk anggotanya dalam bentuk transaksi rahn atau produk pembiayaan dengan jaminan emas tidak perlu dikategorikan sebagai transaksi gadai sebab sifatnya layanan close loop.
Kemudian mendukung koperasi syariah untuk mengelola zakat, infaq, dan wakaf dalam fungsi sebagai amil zakat. (IT/Beritakoperasi)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.