Jakarta, Beritakoperasi – Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKop UKM) terus memantau masuknya produk impor ilegal yang beresiko mengancam pasar produk UMKM di Indonesia.

Temmy Setya Permana selaku Plt (Pelaksana Tugas) Deputi Bidang UKM KemenKopUKM, mengungkapkan bahwa berdasarkan kajian data berbagai sumber, serbuan barang impor ilegal, terutama dari China, berdampak serius bagi industri dalam negeri.

Temmy menambahkan bahwa fenomena ini dapat mengarah pada deindustrialisasi di Indonesia, dengan gejala yang sudah terlihat sejak tahun 2015 hingga 2023.

Pada dekade lalu, sektor industri pengolahan masih memberikan kontribusi terhadap dari lebih dari 20 persen terhadap PDB Indonesia, namun lima tahun kemudian, kontribusinya turun di bawah 20 persen. Penurunan ini hanya terjadi dua kali dalam sepuluh tahun terakhir.

Data dari Trademap yang diproses oleh Tim KemenKopUKM, API, dan Apsyfi 2023 menunjukkan adanya kesenjangan antara ekspor China ke Indonesia dan impor Indonesia dari China. 

Sebagai contoh, pada tahun 2022, ekspor China ke Indonesia mencapai Rp61,3 triliun, sementara impor Indonesia dari China hanya Rp31,8 triliun, menciptakan gap sekitar Rp29,5 triliun atau sekitar 50 persen dari nilai impor produk China ke Indonesia tidak tercatat.

Baca juga:  Kuliner Modern Harga Merakyat di Purwokerto, Selalu Ramai Pengunjung, Menu Paling Unik Sambel Steak.

“Kami menduga ada produk yang masuk secara ilegal dan tidak tercatat. Ini khusus di pakaian atau tekstil dan produk tekstil (TPT). Barang masuk yang tidak tercatat tanpa bea masuk dan lain-lain, harganya akan murah sekali dan ini akan mendistorsi pasar,” kata Temmy pada keterangannya, Jakarta, Rabu (7/8/2024).

Temmy khawatir impor ilegal itu berdampak pada kehilangan seratan 67 ribu tenaga kerja, dengan total pendapatan karyawan Rp2 triliun per tahun. Selain itu, impor produk ilegal ini juga dapat berdampak pada kehilangan potensi PDB multi sektor TPT sebesar Rp11,83 riliun per tahun.

“Hal ini tidak hanya berdampak pada PHK massal perusahaan tersebut saja, tetapi juga berdampak pada penurunan daya beli masyarakat yang kemudian mempengaruhi perekonomian nasional,” katanya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Temmy menyatakan bahwa KemenKopUKM telah merekomendasikan kebijakan bersama K/L terkait. Pertama, Pengenaan BMTP (Bea Masuk Tindakan Pengamanan) 200 persen dan Pertimbangan Teknis (Pertek). 

Pada regulasi ini, KemenKopUKM menyarankan pembatasan produk yang dikonsumsi akhir seperti pakaian jadi dan aksesoris atau pada kode HS 58-65, sedangkan bahan baku industri 

Baca juga:  Pengangkatan Budi Arie Setiadi: Harapan Baru untuk Rebranding Koperasi Indonesia

Kedua, mendukung insentif Restrukturisasi Mesin untuk industri melalui pembebasan bea impor mesin (PMK 11/2009 jo. PMK 188/2015).

Ketiga, mendorong penyusunan regulasi untuk mencegah persaingan usaha tidak sehat dalam perdagangan daring.

Temmy menekankan pentingnya perhatian seluruh elemen masyarakat terhadap ketidakmampuan UMKM Indonesia dalam bersaing dari segi harga. Untuk itu, KemenKopUKM berkomitmen untuk terus memantau serta berupaya meningkatkan daya saing produk UMKM. (IT/Beritakoperasi)