Beritakoperasi, Jakarta – Dugaan Tindakan pencucian uang (TPPU) dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebanyak 12 koperasi, sepanjang 2020 sampai 2022. Total dana kerugian diperkirakan sebanyak Rp 500 triliun.

Hal ini disampaikan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan PPATK, Selasa (14/2/2023). Ia menyebut, dari total 12 koperasi simpan pinjam (KSP) ini, di antaranya termasuk Indosurya.

"PPATK menemukan dari periode 2020-2022 saja ada 12 koperasi simpan pinjam dengan dugaan TPPU, termasuk yang sekarang ini (Indosurya). Jumlah dana secara keseluruhan melebihi Rp 500 triliun, kalau bicara kasus yang pernah ditangani, koperasi," ungkap Ivan Yustiavandana.

Ia juga mengatakan bahwa pihaknya sudah mengikuti berbagai kasus koperasi, termasuk Indosurya. Hingga saat ini PPATK sudah mengantoki 12 hasil analisis menyangkut 12 kasus koperasi tersebut.

Indosurya sendiri merupakan kasus dengan kerugian terbesar dengan angka mencapai Rp 106 triliun. Pihak PPATK juga secara rutin mengirimkan laporan analisa yang menyangkut kasus tersebut, hal ini selalu dikomunikasikan dengan pihak kejaksaan.

Baca juga:  Sempat Divonis Bebas, Terpidana Korupsi Koperasi di Lebak Kembali Ditangkap

"Kami sudah beberapa kali kirim hasil analisis kepada kejaksaan terkait kasus Indosurya. Artinya, dalam perspektif PPATK memang terjadi pencucian uang," ucap Ivan.

 

Baca Juga : Kopsyah Arasy Wukir Jaladri, Sefi : Kembangkan Usaha Anggota Pada Produk Lokal Unggulan Kerajinan Bambu Kemutug Kidul Baturadden

BACA JUGA : Kopsyah Arasy Wukir Jaladri, Sefi : Kembangkan Usaha Anggota Pada Produk Lokal Unggulan Kerajinan Bambu Kemutug Kidul Baturadden

"Angkanya memang luar biasa besar. Kami menemukan dari satu bank saja ada nasabah sekitar 40 ribu nasabah. Kita punya sekian puluh atau belasan bank. Kalau ditanya apakah ada aliran ke luar negeri, ya PPATK mengikuti aliran sampai ke luar negeri," tambahnya.

Menurutnya, Indosurya selama ini menggunakan skema ponzi alias investasi tak berizin. System ini digunakan dengan cara menunggu modal baru masuk. Kesimpulan ini didapatkannya salah satunya karena tercatat banyak dana nasabah yang ditransaksikan ke perusahaan terafiliasi.

"Karena banyak dana nasabah itu dipakai, ditransaksikan ke perusahaan terafiliasi. Contohnya, dibelikan jet, dibayarkan yacht, lalu ada juga untuk kecantikan, operasi plastik, macem-macem. Artinya tidak murni dilakukan bisnis selayaknya koperasi," terangnya.

Selain dengan kejaksaan, Ivan juga mengungkapkan bahwa Ia bekerjasama juga dengan banyak pihak. Salah satunya Kementrian Koperasi.  PPATK juga telah menghentikan aktivitas transaksi para oknum sejak analisis ini digelar.

Baca juga:  Isu Perubahan UU Koperasi No.25/1992. Karena Kasus Koperasi Abal-abal ?

"Kita hentikan untuk menghindari kerugian lebih besar. Tapi untuk mencegah kerugian pada titik nol sangat tidak mungkin, karena literasi masyarakat saat ini, maaf, masih agak lemah. Sehingga keuntungan besar yang ditawarkan pelaku usaha itikad buruk tadi membutakan para nasabah," pungkasnya. (Beritakoperasi/Sefi)